Jauh di ufuk timur Indonesia, tepatnya di Pulau Flores bagian timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kota kecil bernama Larantuka yang memiliki nama yang besar di dalam sejarah kekristenan (Katolik) di tanah air. Sudah sekitar lima abad yang lalu, kota ini telah diinjili oleh para misionaris dari Portugis. Kekayaan iman yang pernah diterima dari para misionaris, khususnya ritual seputar Pekan Suci, tetap dipertahankan sampai saat ini, sekalipun mengalami sedikit degradasi makna manakala dibumbui oleh cita rasa komersialisme.
Catatan
sejarah yang penting tentang Flores Timur berasal dari seorang pelayar
Portugis bernama S.M. Cabot pada tahun 1544. Cabot, dalam pelayarannya
ke ujung timur Pulau Flores, menjumpai sebuah bunga karang raksasa di
Tanjung Bunga. Tempat di mana ia menemukan bunga karang tersebut
dinamainya sebagai “Cabot de Flores”.
Sebelum misi
Katolik menyentuh wilayah Flores Timur, sebagian besar masyarakat
hidup dalam kepercayaan lokal yang menghormati roh-roh nenek moyang dan
mempercayai takhyul. Sosok Yang Ilahi disapanya sebagai “Lera Wulan
Tanah Ekan” atau sang Ada yang menguasai matahari, bulan, dan bumi.
Selain itu, kekuasaan mutlak raja tak dapat ditandingi pihak manapun.
Rakyat dianggap tidak memiliki hak; mereka hanya berharap dari kemurahan
hati sang raja. Setelah masuknya kekristenan, dapat dikatakan bahwa
situasi ini mengalami perubahan yang sangat besar, terutama terhadap
kehidupan iman umat.
Misi Katolik di Flores Timur:
a. Pusat Misi di Solor
Iman Katolik di Larantuka dan di daerah sekitarnya dibawa oleh para misionaris dari ordo OP (Ordo Praedicatorum), OFM (Ordo Fratrum Minorum), SJ (Societas Jesu), dan SVD (Societas Verbi Divini).
Dalam pelayaran portugis untuk mencari rempah-rempah pada peralihan
abad ke-5 dan abad ke-6 di Kepulauan Nusa Tenggara, ikut serta pula para
misionaris yang mengantongi izin resmi dari Paus untuk mewartakan iman
Katolik di tempat persinggahan kapal dagang Portugis.
Pada tahun
1556, P. Antonio Taveira OP, membaptis 5000 orang di Pulau Timor dan
banyak orang lain di daerah Flores Timur. Sayangnya, pembaptisan ini
tidak segera diikuti dengan upaya-upaya pembinaan iman lanjutan
sehingga umat yang telah dibaptis kembali lagi ke keadaan sebelum
dibaptis yang diwarnai dengan praktek-praktek kekafiran. Upaya misi yang
lebih serius dilakukan pada tahun 1561, yang ditandai dengan
kedatangan tiga misionaris dominikan asal Portugis di Lohayong, Pulau
Solor, yaitu P. Antonio da Cruz OP, Simâo das Chagas dan Bruder Alexio.
Para misionaris ini tinggal di tengah komunitas pedagang portugis yang
terpisah dari komunitas masyarakat lokal. Hanya pada saat-saat
tertentu saja, para misionaris tinggal bersama dengan umat lokal dan
melayani kebutuhan iman mereka. Pada periode tahun 1560-an, setelah
mendapatkan serangan dari armada Islam, para misionaris memelopori
pendirian benteng pertahanan untuk melindungi kepentingan dagang
Portugis dan masyarakat setempat.
Pada tahun 1613, sebuah armada dagang Belanda (VOC- Vereenigde Oost-Indische Compagnie)
yang dipimpin oleh Apolonius Scotte menuntut pihak Portugis untuk
menyerahkan benteng Lohayong, Solor. Setelah kehabisan amunisi dalam
sebuah pertempuran sengit, akhirnya pihak Portugis menyerahkan Benteng
Lohayong ke pihak Belanda pada tanggal 20 April 1613. Sebagian pedagang
Portugis berangkat ke Malaka, dan sebagian lainnya berangkat ke
Larantuka yang pada saat itu masih dikuasai Portugis. Pasca penyerahan
benteng di Lohayong, Belanda menguasai pulau Adonara dan sebagian besar
Pulau Solor, kecuali Lewolein dan Pamakayo.
b. Pusat Misi di Larantuka
Bersamaan
dengan berpindahnya sebagian pedagang Portugis ke Larantuka, pusat misi
di Solor kemudian dipindahkan ke Larantuka, Flores Timur. Pada tahun
1630, P. Michael Rangel OP, memperbaiki benteng di Solor yang telah
ditinggalkan Belanda. Sementara itu Larantuka telah berkembang menjadi
pusat misi yang baru. Pada tanggal 13 Desember 1633, P. Michael Rangel
OP menuliskan sebuah laporan ke Portugal yang antara lain menyebutkan,
“Masa gemilang agama Kristen sudah kembali lagi. Kurban misa dan
perarakan diselenggarakan lagi, stasi-stasi misi didirikan, pertobatan
orang kafir dan penghiburan kaum beriman telah berjalan kembali seperti
dahulu.”
Misi
Portugis di Larantuka rupanya terus didesak oleh pihak Belanda. Pada
bulan Desember 1851, pihak Portugis dan Belanda mengadakan perjanjian
pembagian wilayah Nusa Tenggara Timur. Beberapa kali perjanjian ini
mengalami perubahan dan penegasan. Akhirnya, pada tanggal 20 April 1859,
melalui sebuah perjanjian bersama, ditentukanlah bahwa Flores lepas
dari pengaruh Portugis. Setelah perjanjian tersebut, perhatian para
misionaris ke Pulau Flores menurun. Atas upaya kaum awam yang secara
militan mempertahankan iman yang telah ditanamkan oleh para misionaris
Portugis, iman Katolik dapat diwariskan. Kelompok Confreria
Reinha Rosari Larantuka (kelompok religius awam) yang pernah didirikan
oleh P. Lukas da Cruz pada tahun 1564, menjadi yang terdepan dalam
mempertahankan tradisi-tradisi ke-Katolik-an yang telah diwariskan oleh
para misionaris Portugis.
Setelah
lepas dari pelayanan iman oleh misionaris Portugis, umat kemudian
dilayani oleh para misionaris Belanda. Misi awal para misionaris Belanda
ditandai oleh dua tantangan, yaitu a) kecurigaan umat terhadap bahaya
protestanisasi, dan b) kualitas iman umat yang sangat merosot. Sebuah
surat dari Fra Gregorio, seorang misionaris di Dili, kepada Raja
Larantuka segera mengatasi kecurigaan umat terhadap bahaya
protestanisasi pada saat itu. I.P.N. Sanders, misionaris pertama Belanda
di Larantuka, menyaksikan kondisi iman umat yang sangat terbengkalai.
Misionaris Belanda lain, yaitu Heynen, menuliskan, “Betapa banyak
kebiasaan buruk telah masuk ke dalam hidup mereka. Takhyul tumbuh dengan
subur bagaikan tanaman liar di ladang yang tak terurus. Animisme
dilakukan dengan leluasa. Mabuk, dengan semua akibat yang tidak mengenal
kesusilaan, balas dendam dan semua kekejaman tak berperikemanusiaan
merajalela. Memang kita harus berjuang untuk melawan kepicikan dan
kemalasan keagamaan di daerah ini”. Kedatangan Pater G. Metz SJ membuka
daftar misionaris SJ di daerah Flores Timur. Beliau sangat berperan
dalam memajukan bidang kesehatan dan pertanian. Pada tahun 1875, simbol
kekafiran terakhir dihapuskan dengan dibubarkannya rumah adat kafir
yang terakhir di wilayah tersebut. Lewat dukungan Raja Don Lorenzo DVG,
Larantuka semakin mantap berkembang sebagai pusat misi Katolik.
Pada tahun
1913, para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) yang berpusat di
Jerman, memasuki Gereja di Nusa Tenggara. Mereka mengambil kendali misi
di Flores dari tangan misionaris SJ pada tahun 1914. Tempat pendidikan
calon imam (seminari menengah) didirikan di Hokeng pada tahun 1950.
Pada tahun 1958, sebuah tarekat suster lokal bernama Puteri Reinha
Rosari (PRR) didirikan oleh Mgr. Gabriel Manek SVD. Para religius dan
kaum awam yang mendapatkan warisan iman yang sama, terus bekerja sama
memajukan iman yang pernah diterimanya.
Tradisi Pekan Suci (Semana Santa) di Larantuka:
Pekan suci
adalah pekan terakhir dalam masa puasa dan pantang umat Katolik yang
telah dibuka pada hari Rabu Abu (Ash Wednesday). Pekan ini disebut
suci, karena umat secara khusus mengenangkan saat sengsara, wafat, dan
kebangkitan Yesus Kristus. Pekan suci dibuka dengan Minggu Palma, saat
untuk mengenangkan Yesus yang memasuki Kota Yerusalem untuk menderita
dan wafat di salib. Selanjutnya diikuti dengan perayaan Kamis Putih,
Jumat Agung, Sabtu Santo, dan diakhiri dengan Minggu Paskah.
Pada hari
Senin dan Selasa dalam Pekan Suci, umat Larantuka menjalankan kegiatan
seperti biasa, tanpa ada perayaan religius tertentu. Hari Rabu, adalah
hari untuk mengenangkan Tuhan yang terbelenggu (Tuan Trewa).
Umat Katolik Larantuka berkumpul di Kapel Tuan Trewa untuk mendaraskan
ratapan Nabi Yeremia (lamentasi). Saat-saat puncak Pekan Suci adalah
Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Santo, dan Minggu Paskah. Hari Kamis
Putih, Jumat Agung dan Sabtu Santo sering disebut sebagai Tri Hari Suci.
a. Kamis Putih
Kamis Putih
adalah hari peringatan perjamuan terakhir Yesus dengan para murid-Nya.
Umumnya pada hari Kamis Putih pagi, diadakan misa Krisma yang dipimpin
oleh uskup setempat untuk memberkati minyak yang dipakai untuk sakramen
pembaptisan, krisma, pengurapan orang sakit, dan imamat. Pada sore
harinya, imam mengadakan ekaristi, yang secara khusus dipersembahkan
untuk mengenangkan perjamuan terakhir Yesus. Bagian integral dari
perayaan ini adalah tindakan simbolis imam yang membasuh kaki 12 orang
yang dipilih untuk mewakili 12 rasul Yesus. Biasanya, perayaan ekaristi
ditutup dengan Adorasi/Penyembahan Sakramen Mahakudus (tubuh Kristus
yang diletakkan di dalam monstrans) dan tuguran (doa bergilir di
hadapan Sakramen Mahakudus).
Pada Kamis Putih pagi, umat Larantuka membuat pagar bambu (pasang turo)
sebagai tempat lilin untuk prosesi yang diadakan pada hari Jumat
Agung. Turo dipasang sepanjang jalur prosesi. Selain memasang pagar
bambu, umat pun membuat Armida, yaitu tempat persinggahan Tuan Ma (arca Bunda Maria) dan Tuan Ana (peti yang berisi arca Yesus) yang diarak keliling kota dalam prosesi Jumat Agung. Selain itu, para petugas dari kelompok Confreria membersihkan arca Mater Dolorosa. Pada hari Kamis sore, kapel Tuan Ma dan Tuan Ana dibuka oleh keturunan Raja Larantuka.
Setelah misa
Kamis Putih, dipersiapkanlah empat orang yang secara khusus melakukan
promesa (intensi) Lakademu. Para Lakademu melakukan Jalan Kure,
untuk mengecek jalur prosesi dan kesiapan armida. Artefak-artefak
religius peninggalan Portugis, yang akan ditempatkan di armida prosesi,
dibersihkan pada hari Kamis Putih.
Sebagian
besar umat yang tidak secara langsung bersentuhan dengan persiapan
prosesi Jumat Agung mengisi waktunya dengan berziarah ke makam sanak
keluarga yang telah meninggal dunia.
b. Jumat Agung
Jumat Agung
adalah hari khusus untuk mengenangkan sengsara dan wafat Yesus Kristus.
Umumnya umat Katolik berpuasa dan berpantang makan daging. Liturgi
Gereja diisi dengan ibadat penyembahan Salib Yesus.
Bagi umat
Larantuka, Jumat Agung adalah hari yang penting dan istimewa, karena
pada hari ini umat mengadakan Prosesi Jumat Agung untuk mengenangkan
Bunda Maria yang meratapi Puteranya yang menderita dan wafat di kayu
salib. Prosesi ini sangat populer di kalangan umat, tidak hanya yang
ada di Larantuka, tetapi juga yang ada di luarnya. Pada hari Jumat
Agung, Larantuka bagaikan kota mati yang tak berpenghuni. Masyarakat
menjalankan aktivitasnya tanpa menimbulkan keramaian yang amat
mencolok.
Pada pagi
hari, sekitar jam 10.00 WITENG, diadakan prosesi laut untuk mengarak
patung Tuan Meninu (bayi Yesus). Perarakan ini berakhir di depan istana
raja, dan selanjutnya di arak menuju armida Tuan Meninu. Perarakan
diiringi dengan doa dan nyanyian dalam bahasa Portugis dan Indonesia.
Pada pukul
15.00 WITENG, bertepatan dengan jam wafatnya Yesus Kristus, arca Tuan
Ma dan Tuan Ana diarak menuju ke Gereja Katedral Larantuka. Adapun
urutan perarakan, antara lain: pemukul genda do (genderang), anggota
Confreria, pembawa salib dan lilin, arca Tuan Ma, arca Tuan Ana, dan
para petugas yang membawa simbol-simbol penghinaan terhadap Yesus,
antara lain, palu dan paku besar, 30 keping uang perak, mahkota duri,
tongkat, bunga karang, lembing. Perarakan itu diiringi dengan doa dan
nyanyian.
Sebelum
prosesi Jumat Agung diadakan, umat mengunjungi pemakaman terdekat untuk
mendoakan arwah umat yang telah meninggal, sambil berharap agar mereka
bangkit bersama dengan Yesus yang bangkit. Sementara umat berdoa, para
Lakademu berjalan mengelilingi pekuburan dan kembali lagi ke Katedral
untuk mempersiapkan diri mengikuti prosesi.
Prosesi
adalah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh umat. Panjang prosesi
mencapai 5 kilometer. Setelah doa pembukaan oleh uskup, seorang wanita
tampil dan menyanyikan lagu ratapan “O Vos Omnes” (bdk. Rat.
1:12). Setelah prosesi berjalan, doa dan nyanyian dipandu oleh kelompok
Confreria. Urutan perarakan prosesi, antara lain, barisan para pemukul
genderang perkabungan, panji konfreria, anak–anak yang membawa
simbol–simbol penghinaan Yesus, biarawan/wati, Lakademu pengusung Tuan
Ma, para promesa, Tuan Ana, umat dan para peziarah. Semua orang yang
mengikuti prosesi harus memegang lilin yang bernyala sepanjang jalan
prosesi. Pada malam prosesi ini, Larantukan bagaikan lautan cahaya
lilin.
Perjalanan prosesi menyinggahi delapan armida:
1. Armida Misericordiae.
Di armida ini, umat disuguhkan bacaan Injil, doa-doa, dan nyanyian
yang menghantar dan mengingatkan umat akan kedatangan Yesus Kristus.
2. Armida Tuan Meninu. Di sini, umat diajak untuk mensyukuri kasih Allah yang telah memenuhi janji-Nya untuk mengutus Putra-Nya ke dunia.
3. Armida Balela. Di armida ini, umat diajak untuk meneladani Yesus yang setia melaksanakan tugas perutusan-Nya
4. Armida Tuan Trewa
(Tuan Terbelenggu). Umat diajak untuk merenungkan sikap dan teladan
Yesus yang rela berkorban untuk menebus manusia dari perhambaan dosa.
5. Armida Pante Kebis.
Umat diajak untuk merenungkan kesetiaan dan ketabahan Bunda Maria
dalam mengikuti Yesus dari rumah Pilatus sampai puncak Kalvari.
6. Armida Pohon Sirih. Umat diajak untuk merenungkan cinta dan ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib.
7. Armida Kuce. Di armida ini, umat diajak untuk merenungkan penderitaan Yesus dan wafat-Nya di kayu salib.
8. Armida Tuan Ana. Di armida ini umat diajak untuk merenungkan Yesus yang diturunkan dari salib dan dimakamkan.
Arak-arakan
prosesi berakhir di Gereja Katedral. Di depan gereja telah berdiri dua
petugas untuk menerima sisa lilin dari umat (punto dama). Sisa lilin
biasanya diolah kembali oleh kelompok Confreria untuk keperluan ibadat
sepanjang tahun.
c. Sabtu Santo/Sabtu Halleluya
Sabtu Santo
merupakan perayaan malam Paskah. Perayaan liturgi malam Paskah dibagi
menjadi empat bagian utama, yaitu a. Upacaya Cahaya yang melambangkan
Kristus yang menghalau segala kegelapan, b. Liturgi Sabda untuk
merenungkan karya penyelamatan Tuhan (7 bacaan dari Perjanjian Lama dan
2 bacaan dari Perjanjian Baru), c. Liturgi Baptis untuk memperbaharui
janji baptis umat, d. Perayaan Ekaristi.
Pada hari
ini, umat Katolik Larantuka menghantar Tuan Ma dan Tuan Ana kembali ke
kapelnya masing-masing. Tuan Ana dan semua simbol penghinaan Yesus
dihantar ke kapel Tuan Ana di Kelurahan Lohayong. Tuan Ma diarak menuju
ke kapelnya di Pante Kebis. Pada hari ini pula, kota Larantuka
disibukkan dengan arus kendaraan para peziarah yang kembali lagi ke
tempatnya masing-masing.
d. Minggu Paskah
Perayaan
ekaristi minggu Paskah diwarnai dengan sukacita karena “Tuhan telah
bangkit”. Pada hari ini, para anggota Confreria mengevaluasi kegiatan
selama Pekan Suci dan memeriksa kembali semua perlengkapan yang dipakai
selama prosesi.
Catatan Akhir:
Adalah
sebuah kebanggaan bagi masyarakat Flores Timur, khususnya masyarakat
Larantuka bahwa mereka dapat mempertahankan warisan iman yang telah
mereka terima dari para misionaris asing pada sekitar lima abad lampau.
Di tengah perkembangan zaman yang semakin mengancam nilai-nilai
keagamaan, tradisi iman tetap berdiri teguh.
Salah satu
tradisi keagamaan di Larantuka yang paling populer adalah prosesi Jumat
Agung. Prosesi iman yang berintikan Maria yang meratapi nasib anaknya
yang menderita dan wafat di salib ini, telah menyedot perhatian ribuan
orang dari dalam dan luar negeri. Salah satu daya tarik prosesi ini
adalah lamanya ia dipertahankan, dan otentisitas ritualnya yang tetap
terjaga. Menurut penulis, kedua faktor inilah yang menyebabkan prosesi
Larantuka menjadi pilihan umat Katolik untuk melewatkan masa-masa puasa
dan tobatnya. Larantuka bagaikan mutiara berharga yang sangat dicari
oleh orang-orang yang haus akan kasih, kebaikan, dan mujizat ilahi.
Keberlangsungan
suatu tradisi sangat tergantung dari generasi yang mewarisinya. Adalah
sebuah tugas yang berat bagi orang muda Katolik di Larantuka untuk
mewarisi warisan iman yang sangat berharga ini. Untuk itu, penulis
berharap agar orang muda Katolik Larantuka tetap berpegang teguh pada
iman dan merasa bangga sebagai orang muda Katolik Larantuka.
0 komentar:
Posting Komentar